Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dalam rangka menyambut perayaan Nyepi tahun Saka 1936, 31 Maret mendatang, kembali menggelar lomba ogoh ogoh. Kali ini, lomba digelar hanya di lingkungan desa dan banjar.
Bagi ogoh ogoh yang melanggar aturan tidak dibolehkan untuk diarak. Hal tersebut ditegaskan oleh Kadisbud Kota Denpasar I Made Mudra saat sosialisasi di ruang pertemuan di kantor camat Denpasar Timur, Senin (6/1).
Apa yang ditegaskan Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, sekaligus menepis keraguan apakah pengarakan ogoh ogoh bisa dilaksanakan atau tidak tahun 2014 ini. Keraguan itu muncul manakala, malam pangerupukan yang berlangsung 30 Maret , notabene sangat dekat dengan dilangsungkannya Pemilu Legislatif 9 April. Jelang pesta demokrasi seperti itu, pengerahan massa dalam jumlah banyak, seringkali menjadi sangat riskan. Mudah terjadi gesekan dan hal-hal yang tidak diinginkan.
Disinilah sesungguhnya kita harus berpikir ulang, apa itu sesungguhnya ogog ogoh. Pemikiran ulang itu menjadi penting, manakala pengerahan massa mengarak ogoh ogoh merupakan aktifitas keagamaan yang sesungguhnya tak menimbulkan kekhawatiran. Jika kita sepakat bahwa ogoh ogoh bagian dari upakara tawur agung kesanga, maka mengarak lambang bhuta kala itu adalah bagian yadnya sebagaimana layaknya mepeed, atau menggotong bade saat upacara ngaben. Jika sepakat dengan pemikiran seperti itu, maka tak boleh ada gesekan. Tak boleh ada ketegangan. Akan menjadi pertanyaan banyak orang, di Bali yang damai, melaksanakan upacara keagamaan ribut, bakar-bakaran dan bersitegang. Jika ada peristiwa seperti itu, akan banyak pandangan ‘aneh’ tentang Bali, karena sulit mencari logika untuk mencari jawab atas peristiwa-peristiwa ‘aneh’ semacam itu. Tidak ada orang atau kelompok orang melaksanakan upacara keagamaan dengan ketegangan/gesekan dan sejenisnya, apalagi hal itu terjadi antar nyameBali, sesama Hindu di bumi Bali yang dikenal sebagai pulau yang damai, pulau sorga dan tempat berstananya para Dewata.
Jika kita sepakat bahwa ogoh ogoh saat pengerupukan bagian dari upakara, maka kegiatan lain diluar itu patut kita pertanyakan. Kegiatan semacam itu dipastikan sebagai upaya pendomplengan aktifitas keagamaan. Pendomplengan inilah yang membuat kacau. Adanya pihak-pihak lain, termasuk instansi pemerintah memperlombakan ogoh ogoh juga patut dipertanyakan. Semua pihak harus instrospeksi. Menjadi aneh ketika pengarakan ogoh ogoh yang notabene bagian dari upakara (prosesi keagamaan/yadnya/ persembahan suci kepada Ida Hyang Widhi) dinilai oleh manusia dalam bentuk perlombaan. Apanya yang dinilai? Lagi-lagi menjadi aneh karena tujuan perlombaan tentu saja berbeda dengan tujuan upakara. Motivasinya juga berbeda. Berpikir ulang tentang apa itu ogoh ogoh menjadi penting setelah gebyar-gebyar pengarakannya kerapkali menjadi beban menyusul terjadinya gesekan antarbanjar, desa adat dan gesekan lainnya gara-gara ogoh ogoh.
Semestinya ogoh ogoh harus dikembalikan pada filosopy dasarnya, termasuk fungsinya dalam upakara tawur agung kesanga. Atau sebaliknya, jika ingin “mengeluarkan” ogoh-ogoh dari upakara dan ansih hanya menjadikah ogoh-ogoh sebagai produk budaya, ini juga harus dipilah dan pertegas dengan baik. Kita di Bali, sudah terbiasa dengan patung yang hanya patung, dengan patung yang dijadikan pretima (sarana keagamaan). Demikian juga dengan ogoh-ogoh. Kapan ogoh ogoh memerlukan pasupati, utpetti dan ipralina (dibakar), atau ogoh ogoh seperti apa yang bisa diperjualbelikan sudah dipahami dengan baik oleh masyarakat kita. Mencampuradukkan ogoh ogoh sebagai bagian dari upakara dan ogoh-ogoh yang hanya sebagai perlombaan, sangat riskan menyelewengkan makna yang sesungguhnya dari ogoh-ogoh itu sendiri. Menjadi lebih riskan jika itu dilakukan oleh orang-orang yang mengerti agama, apalagi pemerintah.
sumber : http://posbali.com/ogoh-ogoh/
Terus Berkarya
ReplyDeleteMantap.. (y)
ReplyDeleteudah pada persiapan acara ogoh-ogohnya nih, mesti nonton nih ane :)
itulah budaya yang memang seharusnya dikembangkan dan harus dijaga kelestariannya supaya tidak sampai punah
ReplyDelete